PEMANASAN GLOBAL
Konsep
Pemanasan global merupakan
peristiwa meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer akibat aktivitas
manusia di berbagai belahan dunia, menyebabkan meningkatnya radiasi yang
terperangkap di atmosfer, sehingga suhu rata-rata di seluruh permukaan bumi
meningkat. Suhu rata-rata
global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F)
selama seratus tahun terakhir.
Meningkatnya suhu global
diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti terjadinya
efek rumah kaca, naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena
cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat
pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya
gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.
Penyebab terjadinya pemanasan
global :
1.
Efek rumah kaca
Segala sumber energi yang
terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut
berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini
tiba di permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan
Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya.
Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke
angkasa luar.
sebagian panas matahari yang terperangkap
di atmosfer bumi mengakibatkan menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain
uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi
ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang
dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi.
Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan
bumi terus meningkat. Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah
kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin
banyak panas yang terperangkap di bawahnya.
Efek rumah kaca ini sangat
dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet
ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 °C (59
°F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F)dari temperaturnya semula,
jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi
seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah
berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global
2.
Efek umpan balik
Pada kasus pemanasan akibat
bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan
menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air
sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah
jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap
air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh
akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air
absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak
menurun karena udara menjadi menghangat).[3] Umpan balik ini hanya berdampak
secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.
Umpan balik penting lainnya
adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es. Ketika
temperatur global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan
kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut,
daratan atau air dibawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki
kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan
akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah
pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu
siklus yang berkelanjutan.
Umpan balik positif akibat
terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah
mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang
meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.
Kemampuan lautan untuk
menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan
oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi
pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang
rendah.
IPCC juga menyimpulkan bahwa
90% gas rumah kaca yang dihasilkan manusia, seperti karbon dioksida, metana,
dan dinitrogen oksida, khususnya selama 50 tahun ini, telah secara drastis
menaikkan suhu Bumi. Sebelum masa industri, aktivitas manusia tidak banyak
mengeluarkan gas rumah kaca, tetapi pertambahan penduduk, pembabatan hutan,
industri peternakan, dan penggunaan bahan bakar fosil menyebabkan gas rumah
kaca di atmosfer bertambah banyak dan menyumbang pada pemanasan global.
alami, dan manusialah kontributor terbesar dari
terciptanya gas-gas rumah kaca tersebut. Kebanyakan dari gas rumah kaca ini
dihasilkan oleh peternakan, pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan
bermotor, pabrik-pabrik modern, pembangkit tenaga listrik, serta pembabatan
hutan.
Tetapi, menurut Laporan
Perserikatan Bangsa Bangsa tentang peternakan dan lingkungan yang diterbitkan
pada tahun 2006 mengungkapkan bahwa, "industri peternakan adalah penghasil
emisi gas rumah kaca yang terbesar (18%), jumlah ini lebih banyak dari gabungan
emisi gas rumah kaca seluruh transportasi di seluruh dunia (13%). " Hampir
seperlima (20 persen) dari emisi karbon berasal dari peternakan. Jumlah ini
melampaui jumlah emisi gabungan yang berasal dari semua kendaraan di dunia.
Gas rumah kaca yang dihasilkan
manusia, seperti karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida, khususnya
selama 50 tahun ini, telah secara drastis menaikkan suhu Bumi. Sebelum masa
industri, aktivitas manusia tidak banyak mengeluarkan gas rumah kaca, tetapi
pertambahan penduduk, pembabatan hutan, industri peternakan, dan penggunaan
bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor, pabrik-pabrik modern, pembangkit
tenaga listrik menyebabkan gas rumah kaca di atmosfer bertambah banyak dan
menyumbang pada pemanasan global.
Peternakan juga telah menjadi
penyebab utama dari kerusakan tanah dan polusi air. Saat ini peternakan
menggunakan 30 persen dari permukaan tanah di Bumi, dan bahkan lebih banyak
lahan serta air yang digunakan untuk menanam makanan ternak.
Selain itu, ladang pakan
ternak telah menurunkan mutu tanah. Kira-kira 20 persen dari padang rumput turun
mutunya karena pemeliharaan ternak yang berlebihan, pemadatan, dan erosi.
Peternakan juga bertanggung jawab atas konsumsi dan polusi air yang sangat
banyak. Di Amerika Serikat sendiri, trilyunan galon air irigasi digunakan untuk
menanam pakan ternak setiap tahunnya. Sekitar 85 persen dari sumber air bersih
di Amerika Serikat digunakan untuk itu. Ternak juga menimbulkan limbah biologi
berlebihan bagi ekosistem
Selain kerusakan terhadap
lingkungan dan ekosistem, tidak sulit untuk menghitung bahwa industri ternak
sama sekali tidak hemat energi. Industri ternak memerlukan energi yang
berlimpah untuk mengubah ternak menjadi daging di atas meja makan orang. Untuk
memproduksi satu kilogram daging, telah menghasilkan emisi karbon dioksida
sebanyak 36,4 kilo. Sedangkan untuk memproduksi satu kalori protein, kita hanya
memerlukan dua kalori bahan bakar fosil untuk menghasilkan kacang kedelai, tiga
kalori untuk jagung dan gandum; akan tetapi memerlukan 54 kalori energi minyak
tanah untuk protein daging sapi!
Dengan menggabungkan biaya
energi, konsumsi air, penggunaan lahan, polusi lingkungan, kerusakan ekosistem,
tidaklah mengherankan jika satu orang berdiet daging dapat memberi makan 15
orang berdiet tumbuh-tumbuhan atau lebih.
Anda mungkin penasaran bagian
mana dari sektor peternakan yang menyumbang emisi gas rumah kaca. Berikut garis
besarnya menurut FAO:
1. Emisi
karbon dari pembuatan pakan ternak
a. Penggunaan bahan bakar fosil dalam
pembuatan pupuk menyumbang 41 juta ton CO2 setiap tahunnya
b. Penggunaan bahan bakar fosil di peternakan
menyumbang 90 juta ton CO2 per tahunnya (misal diesel atau LPG)
c. Alih fungsi lahan yang digunakan untuk
peternakan menyumbang 2,4 milyar ton CO2 per tahunnya, termasuk di sini lahan
yang diubah untuk merumput ternak, lahan yang diubah untuk menanam kacang
kedelai sebagai makanan ternak, atau pembukaan hutan untuk lahan peternakan
d. Karbon yang terlepas dari pengolahan tanah
pertanian untuk pakan ternak (misal jagung, gandum, atau kacang kedelai) dapat
mencapai 28 juta CO2 per tahunnya. Perlu Anda ketahui, setidaknya 80% panen
kacang kedelai dan 50% panen jagung di dunia digunakan sebagai makanan ternak.
e. Karbon yang terlepas dari padang rumput
karena terkikis menjadi gurun menyumbang 100 juta ton CO2 per tahunnya
2. Emisi
karbon dari sistem pencernaan hewan
a. Metana yang dilepaskan dalam proses
pencernaan hewan dapat mencapai 86 juta ton per tahunnya.
b. Metana yang terlepas dari pupuk kotoran
hewan dapat mencapai 18 juta ton per tahunnya.
3. Emisi karbon dari pengolahan
dan pengangkutan daging hewan ternak ke konsumen
a. Emisi CO2 dari pengolahan daging dapat
mencapai puluhan juta ton per tahun.
b. Emisi CO2 dari pengangkutan produk hewan
ternak dapat mencapai lebih dari 0,8 juta ton per tahun.
Dari uraian di atas, Anda bisa
melihat besaran sumbangan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari tiap
komponen sektor peternakan. Di Australia, emisi gas rumah kaca dari sektor
peternakan lebih besar dari pembangkit listrik tenaga batu bara. Dalam kurun
waktu 20 tahun, sektor peternakan Australia menyumbang 3 juta ton metana setiap
tahun (setara dengan 216 juta ton CO2), sedangkan sektor pembangkit listrik
tenaga batu bara menyumbang 180 juta ton CO2 per tahunnya.
Dalam laporan yang
dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan
bahwa temperatur udara global telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat
Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju bahwa pemanasan tersebut terutama
disebabkan oleh aktivitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer.
IPCC memprediksi peningkatan temperatur rata-rata global akan meningkat 1.1
hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.
IPCC panel juga
memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi gas di atmosfer tidak bertambah lagi
sejak tahun 2100, iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu akibat
emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. karbon dioksida akan tetap berada di
atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya
kembali.
Jika emisi gas rumah kaca
terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi karbondioksioda di atmosfer
dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan
masa sebelum era industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara
dramatis. Walaupun sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi
beberapa kali sepanjang sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini
dengan resiko populasi yang sangat besar.
Dampak dari
pemanasan global :
o
Iklim Mulai Tidak Stabil
Para ilmuan memperkirakan
bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara
(Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi.
Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil, negara yang
sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada
pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit
serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa
area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk
meningkat.
Daerah hangat akan menjadi
lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Hal ini
disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan
meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih
banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan
cahaya matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal ini akan menurunkan proses
pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah
hujan, badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat
menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari
sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang
berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan
air, akan menjadi lebih besar.
o
Peningkatan Permukaan Laut
Perubahan tinggi rata-rata
muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi.
Ketika atmosfer menghangat,
lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar
dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es
di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di
laut.
Perubahan tinggi muka laut
akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi)
akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan
banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat.
Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan
meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat
besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin
hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai. Bahkan sedikit kenaikan
tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai.
o
Gangguan Ekologis
Hewan dan tumbuhan menjadi
makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian
besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung
untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan hal itu disebabkan
karena terjadinya kerusakan tanah dan polusi air.
Tumbuhan akan mengubah arah
pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu
hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini.
Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh
kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies
yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.
o
Dampak Sosial Dan Politik
Perubahan cuaca dan lautan
dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas
(heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal
panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang
ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara
dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam
(banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana
alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian
dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi
mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.
Upaya
pengendalian terjadinya pemanasan global.
Konsumsi total bahan bakar
fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang
dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah
pemanasan global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi
efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin
berubahnya iklim di masa depan.
Kerusakan yang parah dapat
diatasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi dengan dinding dan
penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat
membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa
negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan
tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang belum
dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan
berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.
Fakta
PULAU-PULAU
TENGGELAM ATAU TERANCAM OLEH NAIKNYA AIR LAUT :
o
Tuvalu
– 12.000 penduduk tanpa air bersih untuk minum dan lahan untuk menanam sayur
telah tersapu air
o
Ghoramana
dekat India – 2/3 tenggelam pada tahun 2006 dengan 7.000 penduduk telah
direlokasi
o
Pulau
Sagar yang berdekatan – 250.000 penduduk juga terancam
o
Sekitar
50 pulau lainnya terancam bahaya di Sundarbans
o
India-Bangladesh
dengan 2 juta penduduk
o
Kutubdia
di timur laut Bangladesh kehilangan lebih dari 200.000 penduduk, dengan sisa
150.000 yang mungkin segera pindah
o
Maladewa
– 369.000 penduduk dan presidennya ingin merelokasikan seluruh negeri itu.
o
Kepulauan
Marshall – 60.000 penduduk
o
Kiribati
– 107.800 penduduk, sekitar 30 pulau tenggelam
o
Tonga
– 116.900 penduduk
o
Vanutau
–212.000 penduduk, sebagian telah diungsikan dan desa-desa di pesisir
direlokasi
o
Kepulauan
Solomon – 566.800 penduduk
o
Kepulauan
Carteret di Papua Nugini – 2.500 penduduk yang tanahnya tidak lagi mendukung
pertanian
o
Shishmaref
di Alaska, AS – 600 penduduk
o
Kivalini
di Alaska, AS – 400 penduduk
o
Dubai
– 1,2 juta penduduk di Uni Emirat Arab berhadapan dengan risiko ini
Masalah
Gas rumah
kaca saat ini banyak disalahkan oleh sebagian ahli sedagaipenyebab pemanasan
global adalah gas CO2 di atmosfer. Sementara sebagian ahli lain berpendapat
bahwa sebenarnya jumlah CO2 di atmosfer tidak cukup signifikan untuk dijadikan
sebagai penyebab pemanasan global karena jumlahnya yang hanya 0.04%. Selain
itu, para ahli ini juga menyatakan bahwa seluruh gas yang ada di atmosfer
adalah gas rumah kaca, tanpa terkecuali dimana komposisi terbesar adalah
nitrogen (78%), oksigen (21%) dan uap air (hingga 3%).
Kontribusi terbesar penyebab meningkatnya
kandungan karbon dioksida dan partikel polutan di atmosfer adalah akibat
pemakaian bahan bakar fosil seperti batubara, gas dan minyak Bumi. Ketiga jenis
bahan bakar tersebut adalah yang paling murah saat ini jika dibandingkan dengan
sumber energi lainnya. Pemakaiannya pun dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan yang sangat berarti setelah tercetusnya revolusi industri. Apalagi
kalau sekarang kita sering merasakan kemacetan di mana-mana akibat jumlah
kendaraan bermotor dan "bermobil" yang meningkat. Pabrik/industri
yang tumbuh di mana-mana untuk memenuhi pola konsumsi masyarakat modern yang
semakin hari semakin meningkat. Namun hal ini juga disangkal oleh sebagian
ahli. Menurut mereka, kontribusi dari penggunaan bahan bakar fosil di seluruh
dunia dalam menambah jumlah CO2 hanyalah 0,013%. Jumlah tersebut sangatlah
kecil.
Pro dan
kontra terus terjadi, namun demikian seiring dengan adanya Protokol Kyoto
(1997), Beberapa negara maju sepakat untuk mengurangi jumlah emisi gas CO2
dengan mengurangi pemakaian bahan bakar fosil sebanyak 30% dalam 10 tahun ke
depan. Untuk itu saat ini beberapa negara maju/industri telah mencoba
mengembangkan metode dan teknologi dalam rangka memanfaatkan sumber-sumber
energi alternatif yang (lebih) ramah lingkungan, terutama sumber energi yang
terbarukan.
Namun tidak
tidak ada salahnya dengan mengurangi emisi CO2 dan mengurangi pemakaian bahan
bakar fosil serta mencoba alternatif energi ramah lingkungan dan terbarukan, hal
tersebut akan menjadikan Bumi sedikit bersih dari polutan yang telah membuat
manusia sesak nafas dan teracuni paru-parunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar